Inilah Alasan Mengapa Wanita Haidh Tak Boleh Ikut Ta'ziyah? Berikut Penjelasannya… |
Ta'ziyah merupakan suatu perbuatan balasungkawa
terhadap keluarga yang ditinggal. Tapi kenapa wanita yang sedang haidh tak
boleh ikut ta'ziyah. Padahal berbalasungkawa dengan cara ta'ziyah kan sudah
menjadi kewajiban bagi umat islam.
Mengutip konsultasisyariah, Supaya kamu tidak bingung dan lebih jelasnya lagi, dan tak terjadi suatu fitnah. Untuk lebih jelasnya lagi simak penjelasan dari hadist dan para ulama berikut ini:
hukum wanita mengikuti ta’ziyah padahal dia sedang haidh, maka sebatas yang kami ketahui seorang wanita yang haidh atau nifas (pendarahan karena melahirkan) itu dilarang untuk melakukan beberapa hal yaitu: sholat atau thawaf di Ka’bah, berpuasa dan berhubungan suami istri. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, “Sholat tidak akan diterima tanpa suci.” (HR. Muslim
Mengutip konsultasisyariah, Supaya kamu tidak bingung dan lebih jelasnya lagi, dan tak terjadi suatu fitnah. Untuk lebih jelasnya lagi simak penjelasan dari hadist dan para ulama berikut ini:
hukum wanita mengikuti ta’ziyah padahal dia sedang haidh, maka sebatas yang kami ketahui seorang wanita yang haidh atau nifas (pendarahan karena melahirkan) itu dilarang untuk melakukan beberapa hal yaitu: sholat atau thawaf di Ka’bah, berpuasa dan berhubungan suami istri. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, “Sholat tidak akan diterima tanpa suci.” (HR. Muslim
Thawaf juga tidak boleh karena Nabi menyebut
thawaf termasuk sebagai sholat. Beliau bersabda, “Thawaf mengelilingi
Ka’bah adalah sholat, hanya saja Allah membolehkan bercakap-cakap di dalamnya.”
(HR. Tirmidzi, dishahihkan Syaikh Abdul ‘Azhim Badawi, Shahih Jami’ush Shaghir
no. 3954, Al Wajiz, hal. 38).
‘Aisyah radhiallahu ‘anha mengatakan, “Dahulu kami mengalami haidh di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maka kami pun diperintahkan untuk mengqadha’ (mengganti) puasa (di hari lain) dan kami tidak diperintahkan mengqadha’ sholat.” (Muttafaq ‘alaih)
Sedangkan larangan berhubungan intim bagi wanita haidh terdapat dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Lakukanlah apapun kecuali hubungan intim.” (HR. Muslim, dll Shahih Jami’ush Shaghir 527, Al Wajiz, hal. 52)
Adapun larangan bagi kaum wanita dan juga kaum pria ketika terjadi musibah kematian di antara mereka ialah:
‘Aisyah radhiallahu ‘anha mengatakan, “Dahulu kami mengalami haidh di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maka kami pun diperintahkan untuk mengqadha’ (mengganti) puasa (di hari lain) dan kami tidak diperintahkan mengqadha’ sholat.” (Muttafaq ‘alaih)
Sedangkan larangan berhubungan intim bagi wanita haidh terdapat dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Lakukanlah apapun kecuali hubungan intim.” (HR. Muslim, dll Shahih Jami’ush Shaghir 527, Al Wajiz, hal. 52)
Adapun larangan bagi kaum wanita dan juga kaum pria ketika terjadi musibah kematian di antara mereka ialah:
- Meratapi
mayit (niyahah). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Perempuan yang meratap dan tidak bertaubat sebelum matinya maka pada hari
kiamat dia akan dibangkitkan dalam keadaan mengenakan jubah dari ter dan
dibungkus baju dari kudis.” (HR. Muslim, Ash Shahihah 734, Al Wajiz, hal.
162).
·
Menampar-nampar pipi dan merobek-robek kain pakaian sebagai
ekspresi perasaan tidak terima dengan takdir. Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Bukanlah termasuk golongan kami orang yang menampar-nampar
pipi, merobek-robek kerah baju dan menyeru dengan seruan jahiliah.” (HR.
Muttafaq ‘alaih)
·
Mencukur rambut karena tertimpa musibah. Sahabat Abu Musa
mengatakan, “Sesungguhnya aku berlepas diri dari orang yang Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam berlepas diri darinya. Karena Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam berlepas diri dari shaaliqah, haaliqah dan
syaaqqah.” (Muttafaq ‘alaih). Shaaliqah adalah perempuan yang menangis dengan
keras-keras. Haaliqah adalah perempuan yang mencukur rambutnya ketika tertimpa
musibah, sedangkan Syaaqqah adalah wanita yang menyobek-nyobek pakaiannya
karena tidak terima dengan ketetapan takdir dari Allah (lihat Al Wajiz, hal.
162, Taisirul ‘Allaam, I/319).
·
Mengurai atau mengacak-acak rambut. Hal ini berdasarkan salah
satu isi janji setia kaum wanita kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam yaitu, “(Kami berjanji) untuk tidak mengacak-acak rambut (ketika
tertimpa musibah).” (HR. Abu Dawud, Al Jana’iz, hal. 30, shahih, lihat Al Wajiz
hal. 162).
Sedangkan amalan yang sangat dianjurkan adalah menyolati jenazah dan mengikuti iringan jenazahnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa yang menyolati jenazah dan tidak ikut mengiringi jenazahnya maka dia mendapat pahala satu qirath. Dan apabila dia juga mengiringinya maka dia mendapat pahala dua qirath”
Ditanyakan kepada beliau, “Apa maksud dari dua qirath?” Beliau menjawab, “Yang terkecil dari keduanya (satu qirath) ialah serupa dengan besarnya Gunung Uhud.” (HR. Muslim). Akan tetapi keutamaan mengikuti iringan jenazah ini hanya berlaku bagi kaum lelaki, bukan bagi kaum perempuan. Ummu ‘Athiyah radhiallahu ‘anha mengatakan, “Kami (kaum wanita) dilarang untuk mengikuti iringan jenazah namun beliau tidak keras dalam melarangnya.” (Muttafaq ‘alaih)
Dan termasuk amalan yang disyariatkan ialah melakukan ta’ziyah. Ta’ziyah ialah menyuruh keluarga yang ditinggal mati untuk bersabar, membuat mereka terhibur dan tabah sehingga akan meringankan penderitaan yang mereka rasakan dan mengurangi kesedihan hati mereka. Ini bisa dilakukan oleh kaum laki-laki maupun wanita.
Nabi bersabda, “Tidaklah seorang mukmin menta’ziyahi saudaranya karena musibah yang menimpanya melainkan Allah ‘azza wa jalla memberinya pakaian kemuliaan pada hari kiamat.” (HR. Ibnu Majah dengan sanad jayyid, Ensiklopedi Muslim, hal. 391). Hal itu bisa dilakukan dengan menyampaikan nasihat dan ucapan yang baik kepada keluarganya, semacam mengatakan, “Sesungguhnya hak Allah untuk mengambil sesuatu yang menjadi milik-Nya. Dan Dia lah yang berhak menarik apa yang sudah diberikan.
Dan segala sesuatu sudah ditetapkan ajalnya maka sabar dan harapkanlah pahala.” (lihat Ensiklopedi Muslim, hal. 391, Al Wajiz, hal. 181, Ukhti juga bisa mendapatkan bimbingan audio visual penyelenggaraan Jenazah di dalam VCD Tata Cara Penyelenggaraan Jenazah yang diterbitkan oleh saudara-saudara kami yang tergabung dalam Al Markaz production, semoga Allah mengganjar mereka dengan pahala sebesar-besarnya).
Ketika melakukan ta’ziyah seyogyanya dijauhi dua perkara yaitu:
Pertama, sengaja berkumpul-kumpul di tempat kematian; seperti di rumahnya, pekuburan atau di masjid.
Kedua, keluarga mayit membuatkan makanan bagi para pelayat.
Kedua hal ini terlarang berdasarkan ijma’ (konsensus) para Sahabat. Jarir bin Abdullah Al Bajali radhiallahu ‘anhu mengatakan, “Kami (para sahabat) mengategorikan perbuatan berkumpul-kumpul di tempat keluarga mayit serta membuat jamuan makan (untuk pelayat) sesudah penguburannya adalah termasuk niyahah (meratapi mayit).” (HR. Ibnu Majah, Shahih Ibnu Majah 1308) dan meratapi mayit adalah haram.
Adapun amalan yang dituntunkan ialah kerabat atau tetangga-tetangganyalah yang membuatkan makanan untuk keluarga si mayit. Karena ketika diumumkan kematian Ja’far yang terbunuh dalam perang, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Buatkanlah makanan untuk keluarga Ja’far karena sesungguhnya mereka telah tertimpa urusan yang menyibukkan mereka.” (HR. Abu Dawud, dll).
Sunnah inilah yang dipegang oleh Imam Syafi’i rahimahullah (lihat Al Munakhkhalah, hal. 66). Imam Asy Syafi’i sendiri tidak menyukai adanya berkumpul di rumah ahli mayit ini, seperti yang beliau kemukakan dalam kitab Al Umm, sebagai berikut, “Aku tidak menyukai ma’tam, yaitu berkumpul (di rumah keluarga mayit), meskipun di situ tidak ada tangisan, karena hal itu malah akan menimbulkan kesedihan baru.” (Asy Syafi’i, Al Umm, juz 1, hal. 248, dicuplik dari Tahlilan dan Selamatan Menurut Mazhab Syafi’i, hal. 18)
Lalu apa yang harus dilakukan? Imam Syafi’i
mengatakan, “Dan aku menyukai, bagi jiran (tetangga) mayit atau sanak
kerabatnya, membuatkan makanan untuk keluarga mayit, pada hari datangnya
musibah itu dan malamnya, yang sekiranya dapat mengenyangkan mereka, dan amalan
yang demikian itu adalah sunnah (tuntunan Nabi).” (Asy Syafi’i, Al Umm, juz 1,
hal. 247, dicuplik dari Tahlilan dan Selamatan Menurut Madzhab Syafi’i, hal.
27). Lihatlah keadaan sebagian orang yang mengaku bermazhab Syafi’i di negeri
ini yang tenggelam dalam penyimpangan dari Sunnah Nabi ini, jauh sekali mereka
dengan ajaran gurunya. Wallaahul musta’aan.
Dan apabila mayit telah dikuburkan maka kaum wanita dilarang sering-sering melakukan ziarah kubur. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat (dalam riwayat lain: Allah melaknat) para wanita yang sering berziarah kubur (zawwaraatul qubur).” (HR. Tirmidzi II/156 dan Ibnu Majah I/478) (lihat Ensiklopedi Fatwa Syaikh Albani, hal. 179, Al Munakhkhalah, hal. 66
Adapun apabila hal itu dilakukan oleh kaum wanita tidak secara berulang-ulang maka para ulama berselisih pendapat; ada yang memakruhkan (hadits di atas adalah salah satu dalil mereka) dan ada yang membolehkan (mereka berdalil dengan perbuatan ‘Aisyah radhiallahu ‘anha yang menziarahi kuburan saudaranya Abdurrahman). ‘Aisyah radhiallahu ‘anha mengatakan, “Ya, dulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang ziarah kubur kemudian beliau memerintahkannya.” (HR. Al Hakim dan Al Baihaqi dan dishahihkan Adz Dzahabi) (lihat Ensiklopedi Muslim, hal. 394)
Syaikh Al ‘Utsaimin rahimahullah mengatakan bahwa dalam masalah ziarah kubur bagi wanita para ulama terbagi menjadi 4 pendapat, ada yang mengharamkannya, ada yang memakruhkan, ada yang membolehkan dan ada yang menyunahkannya. Dan dalam hal ini Syaikh ‘Utsaimin menguatkan pendapat yang mengharamkan.
Sedangkan pendapat yang dipilih oleh para ulama ahli tahqiq (penelitian) seperti Al Qurthubi, Ash Shan’ani, Asy Syaukani dan juga dipilih oleh Imam Al Albani (dalam Ahkamul Janaa’iz, hal. 235) ialah mengharamkan wanita sering-sering berziarah kubur namun beliau juga mengatakan bahwa pada asalnya wanita juga disunahkan berziarah berdasarkan keumuman hadits. Adapun teks riwayat hadits di dalam kitab-kitab Sunan yang menceritakan bahwa Nabi melaknat Zaa’iraatul Qubur (artinya:
Dan apabila mayit telah dikuburkan maka kaum wanita dilarang sering-sering melakukan ziarah kubur. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat (dalam riwayat lain: Allah melaknat) para wanita yang sering berziarah kubur (zawwaraatul qubur).” (HR. Tirmidzi II/156 dan Ibnu Majah I/478) (lihat Ensiklopedi Fatwa Syaikh Albani, hal. 179, Al Munakhkhalah, hal. 66
Adapun apabila hal itu dilakukan oleh kaum wanita tidak secara berulang-ulang maka para ulama berselisih pendapat; ada yang memakruhkan (hadits di atas adalah salah satu dalil mereka) dan ada yang membolehkan (mereka berdalil dengan perbuatan ‘Aisyah radhiallahu ‘anha yang menziarahi kuburan saudaranya Abdurrahman). ‘Aisyah radhiallahu ‘anha mengatakan, “Ya, dulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang ziarah kubur kemudian beliau memerintahkannya.” (HR. Al Hakim dan Al Baihaqi dan dishahihkan Adz Dzahabi) (lihat Ensiklopedi Muslim, hal. 394)
Syaikh Al ‘Utsaimin rahimahullah mengatakan bahwa dalam masalah ziarah kubur bagi wanita para ulama terbagi menjadi 4 pendapat, ada yang mengharamkannya, ada yang memakruhkan, ada yang membolehkan dan ada yang menyunahkannya. Dan dalam hal ini Syaikh ‘Utsaimin menguatkan pendapat yang mengharamkan.
Sedangkan pendapat yang dipilih oleh para ulama ahli tahqiq (penelitian) seperti Al Qurthubi, Ash Shan’ani, Asy Syaukani dan juga dipilih oleh Imam Al Albani (dalam Ahkamul Janaa’iz, hal. 235) ialah mengharamkan wanita sering-sering berziarah kubur namun beliau juga mengatakan bahwa pada asalnya wanita juga disunahkan berziarah berdasarkan keumuman hadits. Adapun teks riwayat hadits di dalam kitab-kitab Sunan yang menceritakan bahwa Nabi melaknat Zaa’iraatul Qubur (artinya:
Nah, berdasarkan hadits-hadits dan keterangan-keterangan para ulama yang kami ketahui ini ternyata tidak disebutkan adanya larangan bagi kaum wanita yang haidh untuk ikut berta’ziyah. Sehingga pertanyaan Bude Ukhti tersebut sudah terjawab; bahwa sekedar mengunjungi rumah orang yang ditimpa musibah untuk menghiburnya (ingat ya, bukan untuk berkumpul-kumpul dan bukan untuk mengikuti jamuan makan di sana) maka hal itu diperbolehkan bagi wanita haidh berdasarkan dalil-dalil umum yang ada. Dan perbuatan wanita tersebut untuk tidak mengikuti sampai pemakaman adalah sudah benar, sebagaimana penjelasannya sudah disampaikan di depan.
Alhamdulillah. Dan apabila ada pendapat yang lebih kuat dari pendapat ini maka kami siap untuk rujuk kepada al haq. Karena kebenaran itu lebih berhak untuk diikuti. Wallahu a’lam bish shawaab. Wassalaamu ‘alaikum wa rahmatullaahi wa barakaatuh.
Baca Juga:
Astagfirullah…Benarkah Memakai "Wig" Itu Berdosa? Berikut Penjelasan Hukumnya…
Dilarang Dalam Islam ..!!! Jangan Melakukan 6 Hal Berikut Saat Berhvbvng4n Int1m Dengan Pasangan ((Tolong Sebarkan))
loading...
0 Response to "Inilah Alasan Mengapa Wanita Haidh Tak Boleh Ikut Ta'ziyah? Berikut Penjelasannya…"
Posting Komentar