Pandangan Islam Tentang Menikahi Wanita yang Hamil Duluan |
Tindakan amoral yang
terjadi ini biasanya akan hilang begitu saja jika sudah terjadi pernikahan. Ini
artinya seoarang pria menikahi wanita dalam kondisi sedang hamil.
Lantas bagaimana
sebenarnya pandangan Islam terhadap hukum pernikahan yang dilakukan saat wanita
dalam kondisi hamil? Apa yang harus dilakukan jika sudah terlanjur menikahi
wanita hamil, apakah harus cerai dulu dan kemudian menikah lagi setelah
melahirkan?
Wanita
yang dinikahi dalam keadaan hamil ada dua macam. Pertama adalah wanita yang
diceraikan oleh suaminya dalam keadaan hamil dan wanita yang hamil karena
melakukan zina sebagaimana yang banyak terjadi di zaman ini Wal ‘iyadzu billah.
Berdasarkan Qur’an Surah Ath-Tholaq : 4 perempuan hamil
yang diceraikan oleh suaminya, tidak boleh dinikahi sampai lepas ‘iddah nya.
Masa ‘iddah ini berlangsung sampai ia melahirkan. Sementara itu hukum menikah
dengan wanita hamil saat masa ‘iddah adalah haram dan nikahnya batil tidak sah
sebagaimana dalam firman Allah SWT.
“Dan perempuan-perempuan
yang hamil waktu ‘iddah mereka sampai mereka melahirkan kandungannya”. (QS.
Ath-Tholaq : 4).
“Dan janganlah kalian
ber’azam (bertetap hati) untuk beraqad nikah sebelum habis ‘iddahnya”. (QS.
Al-Baqarah : 235).
Lantas bagaimana dengan
wanita yang hamil karena zina? Secara global para ‘ulama berbeda pendapat
dalam pensyaratan dua perkara untuk sahnya nikah dengan perempuan yang berzina.
Syarat pertama bertaubat dari perbuatan zinanya yang nista dan kedua telah
lepas dari masa ‘iddah.
Madzhab Imam Ahmad dan
pendapat Qatadah, Ishaq dan Abu ‘Ubaid mensyaratkan agar pezina bertobat
nasuhah. Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Al-Fatawa 32/109 :
“Menikahi perempuan pezina
adalah haram sampai ia bertaubat, apakah yang menikahinya itu adalah yang
menzinahinya atau selainnya. Inilah yang benar tanpa keraguan”. Tarjih diatas
berdasarkan firman Allah ‘Azza Wa Jalla :
“Laki-laki yang berzina
tidak menikahi melainkan perempuan yang berzina atau perempuan yang musyrik.
Dan perempuan yang berzina tidak dinikahi melainkan oleh laki-laki yang berzina
atau laki-laki musyrik. Dan telah diharamkan hal tersebut atas kaum mu`minin”.
(QS. An-Nur : 3).
Dan dalam hadits ‘Amr bin
Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya ‘Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash, beliau berkata:
“Sesungguhnya Martsad bin
Abi Martsad Al-Ghonawy membawa tawanan perang dari Makkah dan di Makkah ada
seorang perempuan pelacur bernama ‘Anaq dan Ia adalah teman (Martsad). (Martsad)
berkata : “Maka saya datang kepada Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi
wassallam lalu saya berkata : “Ya Rasulullah, Saya nikahi ‘Anaq ?”.Martsad
berkata : “Maka beliau diam, maka turunlah (ayat) : “Dan perempuan yang berzina
tidak dinikahi melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik”.
Kemudian beliau
memanggilku lalu membacakannya padaku dan beliau berkata : “Jangan kamu nikahi
dia”. (Hadits hasan, riwayat Abu Daud no. 2051, At-Tirmidzy no. 3177, An-Nasa`i
6/66 l).
Ayat dan hadits ini tegas menunjukkan haram nikah dengan
perempuan pezina. Namun hukum haram tersebut bila ia belum bertaubat. Adapun
kalau ia telah bertaubat maka terhapuslah hukum haram nikah dengan perempuan
pezina tersebut berdasarkan sabda Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi
wa sallam :
“Orang yang bertaubat dari dosa seperti orang yang tidak ada
dosa baginya”. (Dihasankan oleh Syeikh Al-Albany dalam Adh-Dho’ifah 2/83 dari
seluruh jalan-jalannya).
Maka yang benar adalah ia bertaubat atas perbuatan zinanya
sebagaimana ia bertaubat kalau melakukan dosa besar yang lainnya. Yaitu dengan
lima syarat :
Ikhlash karena Allah.
Menyesali perbuatannya.
Meninggalkan dosa tersebut.
Ber’azam (bertekad) dengan sungguh-sungguh tidak akan
mengulanginya.
Pada waktu yang masih bisa bertaubat seperti sebelum
matahariterbit dari Barat dan sebelum ruh sampai ke tenggorokan.
Selain bertobat, persyaratan lain adalah terlepas dari
‘iddah atau sampai melahirkan. Adapun perempuan yang berzina dan belum
nampak hamilnya, ‘iddahnya diperselisihkan oleh para ‘ulama yang mewajibkan
‘iddah bagi perempuan yang berzina.
Sebagian para ‘ulama mengatakan bahwa ‘iddahnya adalah
istibro` dengan satu kali haid. Dan ‘ulama yang lainnya berpendapat : tiga kali
haid yaitu sama dengan ‘iddah perempuan yang ditalak.
Tidak boleh nikah dengan perempuan yang berzina kecuali
dengan dua syarat yaitu, bila perempuan tersebut telah bertaubat dari perbuatan
nistanya dan telah lepas ‘iddah-nya.Ketentuan perempuan yang berzina dianggap
lepas ‘iddah adalah kalau ia hamil, maka ‘iddahnya adalah sampai melahirkan.
Kalau ia belum hamil, maka ‘iddahnya adalah sampai ia telah
haid satu kali semenjak melakukan perzinahan tersebut. Wallahu Ta’ala A’lam.
Telah jelas dari jawaban di atas bahwa perempuan yang hamil,
baik hamil karena pernikahan sah, syubhat atau karena zina, ‘iddahnya adalah
sampai melahirkan. Dan para ‘ulama sepakat bahwa akad nikah pada masa ‘iddah
adalah akad yang batil lagi tidak sah. Dan kalau keduanya tetap melakukan akad
nikah dan melakukan hubungan suami-istri setelah keduanya tahu haramnya
melakukan akad pada masa ‘iddah maka keduanya dianggap pezina dan keduanya
harus diberi hadd (hukuman) sebagai pezina kalau negara mereka menerapkan hukum
Islam, demikian keterangan Imam Ibnu Qudamah dalam Al-Mughny 11/242.
Adapun mahar, si perempuan hamil ini berhak mendapatkan
maharnya kalau memang belum ia ambil atau belum dilunasi.
Hal ini berdasarkan hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha,
Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda :
Adapun orang yang ingin meminang kembali perempuan hamil ini
setelah ia melahirkan, maka kembali diwajibkan mahar atasnya berdasarkan
keumuman firman Allah Ta’ala :
“Berikanlah kepada para perempuan (yang kalian nikahi) mahar
mereka dengan penuh kerelaan” (QS. An-Nisa` : 4).
Haram atau halal, sebaiknya, pernikahan dengan kondisi dan
status seperti ini agar dihindarkan. Rumah tangga yang diawali dengan yang
baik, Inshaa Allah, akan berkelanjutan baik.
Sumber: infoyunik.com
Baca juga :
loading...
0 Response to "Pandangan Islam Tentang Menikahi Wanita yang Hamil Duluan"
Posting Komentar